Bingung-Bingung Akhiran –isasi

Ketika membaca sebuah tulisan, tidak jarang dahi kita mengerenyit membaca satu-dua istilah yang terasa asing. Kadangkala, istilah-istilah tersebut janggal bukan karena berasal dari bahasa asing, melainkan karena sifat katanya yang boleh jadi bisa kita pahami maknanya, namun tidak bisa kita yakini sebagai istilah yang baku. Sumber kebingungan ini antara lain adalah karena terkadang, orang membuat kata bentukan sendiri.

Salah satu kesalahan yang paling sering membuat bingung adalah pemberian akhiran –isasi pada sembarang kata benda untuk memberikan makna ‘dalam proses atau usaha pembudidayaan’. Jawanisasi, misalnya, atau lelenisasi. Memang, kita bisa memahami bahwa makna kata-kata tersebut bisa jadi “kegiatan membuat sekelompok masyarakat menjadi memiliki sifat-sifat kejawa-jawaan” atau “menggiatkan budidaya ikan lele”, tetapi tafsir itu tetap rancu. Lagipula, secara pelafalan, kata-kata itu tidak enak di telinga.

 

Ada kah kaidah yang mengatur tentang perkara ini?

Dalam buku penyuluhan tentang bentukan kata yang diterbitkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Sukamto, 2015), akhiran –isasi sebagai kata bentukan juga disinggung. Dibandingkan dengan akhiran lain (-kan, -an, -i), akhiran –isasi paling banyak dan rentan menimbulkan masalah. Karena sejatinya, imbuhan –isasi yang sering digunakan dalam bahasa Indonesia berasal dari –isatie (Belanda) atau –ization (Inggris).

Imbuhan itu sebenarnya tidak diserap ke dalam bahasa Indonesia. Meskipun demikian, imbuhan itu ada dalam pemakaian bahasa kita karena diserap secara bersama-sama dengan bentuk dasarnya.

Sebagai gambaran, coba perhatikan contoh berikut:

Modernisatie (Bld.) à  modernization (Ing.) à modernisasi

Normalisatie (Bld.) à normalization (Ing.) à normalisasi

Legalisatie (Bld.) à  legalization (Ing.) à legalisasi

Neutralisatie (bld.) à neutralization (Ing.) à netralisasi

Contoh tersebut memperlihatkan bahwa imbuhan –isasi tidak diserap secara terpisah atau tersendiri, tetapi diserap secara utuh beserta bentuk dasar yang dilekatinya. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa dalam bahasa Indonesia kata modernisasi, misalnya, tidak dibentuk dari kata modern dan imbuhan –isasi, melainkan diserap secara utuh dari kata asing modernisatie atau modernization.

Karena tidak diserap ke dalam bahasa Indonesia, seharusnya imbuhan –isasi digunakan sebagai pembentuk kata baru. Meskipun begitu, sebagian dari para pemakai bahasa tampaknya kurang menyadari hal itu. Ada saja yang tetap beranggapan bahwa -isasi merupakan imbuhan yang dapat digunakan dalam bahasa Indonesia. Akibatnya, muncul beberapa bentukan kata baru yang menggunakan imbuhan itu, misalnya turinisasi, lelenisasi, lamtoronisasi, hibridanisasi, rayonisasi, neonisasi, dan pompanisasi.

 

Tetapi, tepatkah bentukan kata-kata semacam itu?

Agar tidak mengganggu perkembangan bahasa Indonesia, Badan Bahasa sepakat bahwa unsur asing yang ada padanannya dalam bahasa Indonesia sebaiknya tidak diserap. Sesuai dengan kebijakan itu, sebenarnya ada imbuhan dalam bahasa Indonesia yang dapat digunakan sebagai pengganti imbuhan asing –isasi, yaitu imbuhan peng-….-an. Dengan penggantian itu, kata modernisasi, legalisasi, normalisasi, dan netralisasi misalnya, dapat diubah menjadi pemodernan, penormalan, pelegalan, dan penetralan, seperti yang tampak pada daftar berikut.

modernisasi à pemodernan

normalisasi à penormalan

legalisasi à pelegalan

netralisasi à penetralan

Dengan cara yang serupa, bentukan kata setipe turinisasi lebih tepat jika diubah menjadi seperti berikut.

turinisasi à penurian

lamtoronisasi à pelamtoroan

lelenisasi à pelelean

hibridanisasi à penghibridaan

sengonisasi à penyengonan

rayonisasi à perayonan

Bagaimana jika bentukan kata dengan imbuhan peng-…-an itu dianggap kurang “sreg” atau kurang pas? Kita dapat memanfaatkan kosakata bahasa Indonesia yang lain untuk menyatakan pengertian yang sama, misalnya dengan menggunakan ungkapan pembudidayaan. Istilah semacam itu sudah sering digunakan dalam pemakaian bahasa Indonesia, dengan makna ‘proses atau tindakan membudidayakan’, misalnya pembudidayaan udang, yang berarti ‘proses atau tindakan membudidayakan udang’. Jadi, untuk menyatakan makna itu, kita tidak perlu membentuk atau menciptakan kata udangisasi.

Sejalan dengan hal itu, kata-kata yang disebutkan di atas dapat dinyatakan dengan ungkapan di bawah ini.

Misalnya:

  1. pembudidayaan turi
  2. pembudidayaan lamtoro
  3. pembudidayaan lele
  4. pembudidayaan hibrida
  5. pembudidayaan sengon

Dengan demikian, kita tidak perlu menggunakan kata bentukan sendiri untuk menyebut sesuatu. Semoga artikel ini bisa memberikan sedikit keterangan jika kita menemukan kata-kata yang membingungkan semacam itu lagi. Nah, selamat berkarya!